Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menjelaskan
tentang hak menyusu bagi seorang anak dan kewajiban seorang ibu untuk
menyusuinya serta kewajiban bagi seorang ayah untuk mencukupi kebutuhan
mereka baik mereka dalam kondisi belum bercerai atau telah bercerai.
Allah Ta’ala berfirman…
Pelajaran dari SURAT AL-BAQARAH AYAT : 233 (Hak Menyusu Bagi Seorang Anak)
Senin, 01 Maret 10
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ
وَالِدَةُ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودُُلَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا
وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم
مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرُُ {233}
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).
Tafsir Ayat : 233
Ayat yang mulia ini adalah kabar tapi maknanya adalah
perintah sebagai suatu penempatan baginya pada suatu kedudukan yang
telah diakui dan tetap yang tidak butuh kepada perintah, ialah hendaklah
(ibu-ibu), { يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ }“menyusukan anak-anaknya selama dua tahun”.
Dan ketika tahun itu diartikan sebagai yang sempurna dan sebagian besar
tahun, Allah berfirman, {كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ } “dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.Apabila
seorang bayi telah sempurna dua tahun menyusu, maka telah selesailah
masa menyusunya dan air susu yang ada setelah itu berfungsi sama dengan
segala macam makanan. Karena itu penyusuan yang terjadi setelah dua
tahun itu tidaklah dianggap dan tidak mengharamkan (baca: tidak
menjadikan teman sesusuannya mahram baginya, ed.). Dan dapat dijadikan
dalil dari ayat ini dan firman Allah yang lain,
….وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا …..{15}
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15).
Bahwasanya masa kehamilan yang paling sedikit adalah
enam bulan dan bahwa mungkin saja dalam tempo secepat itu terlahir
seorang bayi. { وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ } “Dan diwajibkan atas orang yang dilahirkan untuknya”, yaitu ayah, { رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ } “memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. Ini
mencakup (semua) baik yang masih dalam ikatan pernikahan dengan
suaminya maupun yang telah diceraikan; maka seorang ayah wajib
memberinya makan. Artinya, memberi nafkah dan pakaian yaitu upah bagi
pekerjaan menyusui yang dilakukannya. Ini juga menunjukkan bahwa apabila
masih dalam ikatan pernikahan, suaminya wajib memberi nafkah dan
pakaian, sesuai kondisinya. Karena itu Allah berfirman, { لاَ تُكَلَّفُ
نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا } “Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”.Tidaklah
seorang yang fakir dibebankan untuk memberikan nafkah seperti nafkahnya
orang yang kaya, dan tidak pula seorang yang tidak punya apa-apa hingga
dia mendapatkannya.
{ لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ } “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya”, maksudnya,
tidaklah halal bagi seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya
baik dengan melarangnya untuk menyusui anaknya atau tidak diberi hak
yang wajib untuknya dari nafkah dan pakaian atau upah, { وَلاَ مَوْلُودٌ
لَهُ بِوَلَدِهِ } “dan seorang ayah karena anaknya” yaitu
dengan cara ibunya itu tidak mau menyusui anaknya yang dapat
menyengsarakan dirinya, atau ibunya meminta bayaran yang lebih besar
dari yang seharusnya dan semacamnya. Dan firman Allah, { مَوْلُودٌ لَهُ
} “dan seorang ayah” menunjukkan bahwa anak itu adalah milik
ayahnya karena dialah yang diberikan untuknya dan karena anak itu adalah
hasil jerih payahnya, oleh karena itu boleh baginya mengambil harta
anaknya itu baik ridha maupun tidak, berbeda dengan ibu.
Dan firmanNya, { وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذلِكَ } “Dan warispun berkewajiban demikian”,maksudnya,
orang yang mewarisi anak tersebut apabila tidak ada ayahnya dan anak
tersebut tidak memiliki harta, maka ia wajib sebagaimana kewajiban ayah
memberi nafkah dan pakaian terhadap wanita yang menyusui, ayat ini
menunjukkan wajibnya memberikan nafkah terhadap karib kerabat yang
kesusahan bagi karib kerabat pewaris yang berada dalam kelapangan.
{ فَإِنْ أَرَادَا } “Apabila keduanya ingin”, yaitu, kedua orang tua, { فِصَالاً } “menyapih”,maksudnya, berhenti menyusui bayi tersebut sebelum dua tahun, { عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا }“dengan kerelaan keduanya”, di
mana keduanya ridha, { وَتَشَاوُرٍ } “dan permusyawaratan”, antara
mereka berdua apakah hal itu merupakan kemaslahatan bayi ataukah tidak?
Apabila ada maslahat (untuk si bayi) dan mereka berdua rela, { فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا } “maka tidak ada dosa atas keduanya”, untuk penyapihannya kurang dari dua tahun.
Ayat ini menunjukkan bahwa apabila salah seorang dari
keduanya rela dan yang lainnya tidak rela atau bukan untuk kemaslahatan
bayi itu, maka tidak boleh disapih. Dan firmanNya, {وَإِنْ أَرَدْتُمْ
أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ } “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain”, artinya, kalian mencarikan wanita yang menyusuinya
selain dari ibunya atas dasar tidak memudharatkan, {فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَ اتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ } “maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”,
yaitu, bagi wanita-wanita yang menyusui.
{ أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ } “Bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”, maka Dia akan memberikan
balasannya bagi kalian atas semua itu dengan kebaikan dan kejelekan.
Pelajaran dari Ayat :
- Wajib bagi seorang ibu menyusui anaknya.
- Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang paling maha Rahim (Maha
Penyayang) bagi seluruh makhluknNya dari pada kasih sayangnya seorang
ibu kepada anaknya, karena Allah Ta’ala memerintahkan kepada para ibu
untuk menyusui, padahal hal itu sudah merupakan fitrah dan naluri
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah Ta’ala sangat jauh lebih
luas dan agung dari pada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
- Bahwasanya perintah menyusui yang sempurna adalah selama dua tahun penuh.
- Dan boleh bagi ibunya menyusui kurang dari dua tahun, akan tetapi
hal itu dimusyawarahkan terlebih dahulu (oleh kedua orang tua anak
tersebut), dan dengan keridhaan keduanya dan kemashlahatan bagi bayinya,
jika memadharatkan anaknya maka hal itu dilarang. Dan apakah menyusui
boleh lebih dari dua tahun? Dijawab : hal itu tergantung kondisi bayi
tersebut, jika dia sangat membutuhkan air susu tersebut maka boleh
ditambahkan secukupnya, dan jika tidak lagi membutuhklan maka masa
menyusui telah sempurna (yaitu dua tahun penuh), sebagaimana hal itu di
ungkapkan oleh Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah dalam
tafsirnya.
- Ayat ini ( لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ) “yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” adalah sebagai jawaban bagi firqah ‘Jabariyah’ yang
mana mereka meniadakan kehendak, kemampuan dan pilihan secara mutlak
bagi manusia, mereka berkata, “Manusia itu tidaklah memiliki kehendak,
tidak pula kemampuan, hanyasaja ia dipaksa atas perbuatannya”, mereka
tidak membedakan antara gerakan yang muncul sendiri (seperti menggigil,
pen) dan gerakan yang merupakan pilihan.
- Seorang anak adalah merupakan ‘Hibah’ (pemberian) bagi ayahnya, sebagaimana ayat “Dan diwajibkan atas orang yang dilahirkan untuknya” .
sebagian ulama beristimbath dari ayat ini bahwa ayat ini merupakan
dalil bahwa seorang ayah adalah ‘seorang yang diberikan hibah
kepadanya’; yang jelas bahwa ayat ini semisal dengan hadits Nabi
shallalahu ‘alaihi wasallam, “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
- Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa ‘Urf’ (kebiasaan) manusia juga tidak diabaikan dalam syariat, sebagaimana ayat “memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf” , hal itu jika tidak menyelisihi syari’at, dan apabila ‘urf tersebut menyelisihi syariat maka dikembalikan kepada hukum syariat.
- Wajib bagi seorang ayah memberikan makan, pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf (sesuai kebiasaan pada umumnya), maka hal-hal
tersebut adalah dikembalikan kepada ‘urf atau kebiasaan sekelilingnya
atau yang semisalnya seperti jenis makanan, jumlah nominalnya, caranya
demikian juga pakaian.
- Wajib atas orang yang diberikan kepadanya seorang anak (baik ia
adalah suami bagi ibu anak tersebut atau yang lainnya) untuk memberikan
nafkah kepada ibu yang menyusui anaknya tersebut. dhahirnya ayat
menunjukkan bahwa hal itu tidak dibedakan antara ibu yang menyusui
tersebut adalah sebagai istri yang masih terikat dalam hubungan
pernikahan atau istri yang telah dithalak ba’in. jika dia adalah masih
dalam ikatan pernikahan maka nafkah melalui dua jalan atau sebab,
melalui dia sebagai istri (yang wajib bagi suami menafkahinya) dan dari
sebab menyusui. Dan apabila dia telah di thalak ba’in maka nafkah hanya
melalui satu sebab yaitu sebab menyusui.
- Dalam masalah pemberian rezqi (makanan) dan pakaian, para ulama
berselisih pendapat apakah disesuakan kondisi istri atau kondisi suami,
hal itu dalam beberapa pendapat yaitu :
- Pendapat pertama; Yang dianggap dalam memberi makan dan pakaian
adalah sesuai kondisi istri bukan kondisi suami, sesuai ayat diatas,
seolah-olah dikatakan, bahwa makanan dan pakaian yang diberikan adalah
yang sesuai dengan semisal atau sederajat istrinya, jika suaminya miskin
dan istrinya kaya maka wajib atas suami memberi nafkah seperti wanita
yang kaya atau sebaliknya.
- Pendapat kedua; Bahwa yang dianggap adalah sesuai kondisi suami, dan kemampuannya
- Pendapat ketiga, menggabungkan kondisi suami dan kondisi istri. Jika keduanya kaya atau lapang, maka ukuran nafkah adalah seperti nafkah bagi orang yang kaya, dan jika keduanya miskin maka ukuran nafkah adalah seperti nafkah bagi orang miskin, dan jika salah satunya miskin dan yang lain kaya maka ukuran nafkah adalah tengah-tengah.
Dan pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa nafkah disesuaikan kondisi suami, sebagaimana ayat, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalaq : 7). Dan hal ini adalah bentuk penggabungan dua ayat diatas, yang maksudnya adalah, ‘Memberikan makan dan pakaian kepada para ibu semisal atau sekemampuan kalian para suami’. Dan hal ini adalah merupakan pendapat Imam Syafi’I rahimahullah. Allahu a’lam - Pendapat pertama; Yang dianggap dalam memberi makan dan pakaian
adalah sesuai kondisi istri bukan kondisi suami, sesuai ayat diatas,
seolah-olah dikatakan, bahwa makanan dan pakaian yang diberikan adalah
yang sesuai dengan semisal atau sederajat istrinya, jika suaminya miskin
dan istrinya kaya maka wajib atas suami memberi nafkah seperti wanita
yang kaya atau sebaliknya.
- Bahwasannya Allah Ta’ala tidak membebani seseorang dengan apa yang
tidak disanggupi, dan hal ini adalah merupakan bentuk keluasan rahmat
Allah Ta’ala kepada hambaNya. Yang mana Allah tidak membebani hambaNya
kecuali apa yang mereka sanggupi.
- Haramnya berbuat mudharat atas orang lain, baik yang datangnya dari
ibu kepada ayah, atau sebaliknya, karena larangan pada ayat diatas
mencakup keduanya. Diantara bentuk-bentuk mudharat adalah :
- Mudharat yang datang dari ibu kepada ayah (mantan suaminya), yaitu
dengan menolak untuk menyusui anaknya, atau dengan meminta nafkah (sebab
menyusui) diatas kemampuan suaminya.
- Mudharat yang datangnya dari ayah kepada ibu (mantan istrinya), yaitu dengan melarangnya untuk menyusui anaknya, atau dengan tidak memberikan nafkah baik makanan atau pakaian ketika dia menyusui anaknya tersebut.
- Mudharat yang datang dari ibu kepada ayah (mantan suaminya), yaitu
dengan menolak untuk menyusui anaknya, atau dengan meminta nafkah (sebab
menyusui) diatas kemampuan suaminya.
Pelajaran dari SURAT AL-BAQARAH AYAT : 233 (Hak Menyusu Bagi Seorang Anak)
Senin, 01 Maret 10
Berikut ini adalah beberapa tambahan pelajaran yang
dapat diambil dari surat Al-Baqarah ayat: 233, tentang hak menyusu bagi
seorang anak, yang belum disebutkan dalam edisi yang lalu.
Diantara pelajaran-pelajaran yang dapat diambil adalah :
- Wajib atas ahli waris memberikan nafkah kepada anak yang
ditinggalkannya (jika ayah dari anak tersebut telah meninggal dunia,
pen.), sebagaimana ayat, { وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذلِكَ } “Dan warispun (ahli waris) berkewajiban demikian” ;
demikian pula bahwa kewajiban memberi nafkah kepada yang menyusui agar
anaknya dapat menyusu merupakan dalil atas wajibnya memberikan nafkah
terhadap anak yang menyusu itu sendiri.
- Bahwa dibolehkan bagi seorang ibu untuk menyapeh anaknya sebelum
sempurna dua tahun masa susuan, akan tetapi dengan syarat saling ridha
dan musyawarah antara kedua orangtua anak tersebut demi kemashlahatan
anak dan mereka berdua. Sebagaimana ayat, { فَإِنْ أَرَادَا } “Apabila keduanya ingin”, yaitu, kedua orang tua, { فِصَالاً } “menyapih”, maksudnya, berhenti menyusui bayi tersebut sebelum dua tahun, { عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا } “dengan kerelaan keduanya”, di mana keduanya ridha, { وَتَشَاوُرٍ } “dan permusyawaratan”,
antara mereka berdua apakah hal itu merupakan kemaslahatan bayi ataukah
tidak? Apabila ada maslahat (untuk si bayi) dan mereka berdua rela, { فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا } “maka tidak ada dosa atas keduanya”, untuk penyapihannya kurang dari dua tahun.
- Inayah Allah Ta’ala kepada bayi-bayi yang masih dalam masa menyusu;
karena tidaklah dibolehkan menyapih mereka sebelum dua tahun penuh
kecuali setelah adanya saling ridha antara kedua orangtuanya (antara ibu
yang melahirkan dan ayah yang menanamkan benih), dan saling
bermusyawarah.
- Bahwa hal itu tidaklah cukup hanya dengan saling ridha antara kedua
pasangan yang menyebabkan kelahirannya saja, bahkan haruslah hal itu
setelah terjadi musyawarah, dan mengulang, melihat dan memperhatikan
serta menimbang kembali dalam masalah itu sehingga apabila benar-benar
didalam penyapihan tersebut terdapat mashlahat bagi sang bayi tersebut,
maka hal itu baru dibolehkan.
- Bolehnya seseorang untuk meminta orang lain (para ibu yang biasa
menyusui, atau seorang wanita yang bukan ibu dari anaknya, pen) untuk
menyusui anaknya, sebagaimana ayat, “jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu …“.
Dan apabila ibu kandungnya meminta untuk menyusuinya sendiri, lalu
suaminya atau ayah dari anak tersebut berkata, ‘Susukanlah anak itu
kepada selain ibunya’, maka ayahnya tersebut dipaksa untuk menyepakati
keinginan ibu anaknya untuk menyusui. Berdasarkan firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya…”; Allah ta’ala memulai ayat tersebut dengan ‘Para Ibu…’; karena seorang ibu lebih sayang (kepada anaknya) ,
dan air susunya lebih baik dan lezat bagi anaknya, demikian pula bahwa
hal itu lebih menumbuhkan kasih sayang antara seorang ibu dan anaknya.
- Apabila dikatakan, bagaimana apabila ibu tersebut meminta upah dari
menyusui kepada ayah anak yang disusui (bekas suaminya) lebih dari yang
lainnya, apakah wajib untuk memenuhinya?, maka dijawab, ‘Jika lebihnya
atau tambahannya hanya sedikit, maka wajib untuk memenuhinya, dan jika
banyak maka tidak wajib untuk memenuhinya’.
- Apabila ditanyakan, apakah boleh bagi seorang ibu meminta upah (persusuanya) sedangkan ia masih dalam ikatan penikahan dan tinggal bersama suaminya (ayah dari anak yang disusuinya)?, maka dijawab, ‘bahwa dalam masalah ini ada dua pendapat dikalangan para ulama; dan yang rajih (kuat) adalah bahwa tidak dibolehkan baginya meminta upah (persusuannya), karena telah tercukupi dengan nafkah suami kepadanya dengan sebab (ikatan pernikahan).
- Apabila dikatakan, bagaimana apabila ibu tersebut meminta upah dari
menyusui kepada ayah anak yang disusui (bekas suaminya) lebih dari yang
lainnya, apakah wajib untuk memenuhinya?, maka dijawab, ‘Jika lebihnya
atau tambahannya hanya sedikit, maka wajib untuk memenuhinya, dan jika
banyak maka tidak wajib untuk memenuhinya’.
- Wajib atas seorang ayah (yang menyusukan anaknya kepada orang lain)
memyerahkan upah (persusuan) dengan ma’ruf atau yang sepatutnya, yaitu
tanpa menunda-nunda, dan mengurangi. Sebagaimana ayat, “apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”.
- Bahwa tidaklah wajib bagi seorang yang mempekerjakan (seperti orang
yang meminta agar anaknya disusui, pen.) kecuali apa yang telah menjadi
kesepakatan dalam aqad pekerjaannya, sesuai ayat tersebut diatas. Maka
apabila orang yang dipekerjakan meminta kepadanya untuk menambah dari
upah yang telah disepakati maka tidak wajib baginya untuk memenuhinya;
walaupun kebutuhan bertambah.
- Kewajiban bertaqwa kepada Allah Ta’ala sebagaiman perintah dalam ayat diatas.
- Wajib beriman dengan nama-nama Allah dan apa-apa yag terkandung
didalam nama-nama tersebut berupa sifat-sifat yang mulia. Sebagaimana
ayat, “dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
- Peringatan keras dari menyelisihi perintah Allah, karena Allah
Ta’ala setelah memerintahkan untuk bertaqwa berfirman yang artinya, “dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” , memperingatkan kepada kita dari menyelisihi perintahNya.
- Umumnya ilmu Allah Ta’ala terhadap segala sesuatu dari apa yang kita kerjakan, sebagaimana ayat, “Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” .
- Penetapan sifat ‘Penglihatan Allah’, dan ilmuNya terhadap segala apa yang kita kerjakan.
- Bahwa bisikan hati tidaklah dihukum atau diadzab, karena hal itu bukan termasuk perbuatan, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memaafkan ummatku dari apa yang terbisik dalam hatinya selama belum mengerjakan atau mengucapkannya.” (HR. Muslim)
Di kumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
Sumber :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
Sumber :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)