Seperti yang sudah-sudah, PBB kembali terlambat
menangani kasus pembantaian etnis, kali ini terhadap etnis Rohingya di
Myanmar. Pembantaian itu terjadi di negeri yang oleh PBB
disanjung-sanjung karena memiliki tokoh perdamaian dunia Aung San Suu
Kyi.
Seruan
yang dikeluarkan Ketua Badan HAM PBB Navi Pillay, Jumat (28/7/2012),
itupun sangat terlambat. Sebab, pembataian sudah terjadi lama sedangkan
PBB masih menilai bahwa itu tindakan kekerasan. Pillay mengatakan
tindakan aparat keamanan Mynamar terhadap warga Muslim Rohingya di
wilayah Rakhine Myanmar telah menjurus pada kekerasan terhadap etnis
minoritas.
“Kami telah menerima laporan dari sumber independen
mengenai diskriminasi oleh aparat keamanan bahkan tindakan kekerasan itu
merupakan perintah resmi aparat," ujar Pillay.
“Laporan itu
menyebutkan bahwa tindakan aparat terhadap warga sudah menjurus pada
kekerasan yang menargetkan warga Muslim, khususnya yang berasal dari
masyarakat Rohingnya.”
Pillay sendiri baru menerima laporan bahwa
jumlah orang yang meninggal adalah 78 orang dan 70 ribu orang kehilangan
tempat tinggal. Padahal, laporan tidak resmi menyebutkan jumlah korban
tewas jauh lebih banyak.
Pillay menyerukan pemerintah Myanmar
untuk mencegah dan menindak pihak-pihak yang melakukan kekerasan
terhadap mereka. Ia khawatir karena pemerintah Myanmar mendukung
tindakan itu, terlihat dari istilah yang bernada penghinaan untuk
menyebutkan kelompok Rohingya oleh pemerintah dan media massa, terutama
oleh pengguna internet.
Diperkirakan, sebanyak 800 ribu Muslim
Rohingnya tinggal di Myanmar. Namun, pemerintah menganggap mereka
sebagai orang asing dan warga Myanmar juga menyebut mereka pendatang
haram dari Banghladesh.
Kondisi Muslim Rohingnya semakin
mengkhawatirkan karena dunia tidak mempedulikannya. Bangladesh sendiri
tidak bersedia menampung mereka dengan alasan tidak mampu. Sehingga
banyak pengungsi Rohingya ke Bangladesh dipulangkan kembali begitu tiba
di Bangladesh.
Jangankan mendapat perlindungan, diperlakukan layak
saja sudah untung. Sebab, setibanya di pantai-pantai Bangladesh, mereka
dikumpulkan dan dijaga ketat oleh aparat bersenjata lengkap. Di bawah
todongan senjata mereka dibariskan lalu diberi nasi bungkus dan satu
botol air minum.
Aparat, yang rata-rata menenteng senapan serbu
semi-otomatis yang biasa digunakan dalam perang itu, kemudian menggiring
mereka ke dermaga. Setelah itu mereka disuruh naik ke sampan-sampan
yang jauh dari layak untuk menyeberangi lautan. Perintahnya, masuk ke
sampan itu lalu kembalilah ke laut.
Kemana tujuan para Muslim tak
berdaya itu? Entahlah dan tentu saja itu bukan urusan Bangladesh. Tak
peduli mereka mau kemana yang pasti tidak merepotkan Bangladesh.
Praktis
Muslim Rohingya itu kebingungan harus kembali ke mana. Sebab, di
Myanmar mereka tidak diterima bahkan disiksa dan di Bangladesh juga
diusir-usir. Tak ada pilihan selain naik sampan dan akhirnya
terkatung-katung di samudera luas. Banyak di antara mereka yang gagal
menaklukan ganasnya samudera sehingga harus tewas dan dikuburkan di
lautan.
Di Mana Suu Kyi?
Sementara itu di
mana tokoh perdamaian dunia yang menjadi simbol Myanmar, Aung San Suu
Kyi? Di manakah tokoh yang disanjung-sanjung dunia,karena menerima Nobel
Perdamaian itu kini berada? Apa sikapnya tentang kaum Muslim di
negerinya itu?
Tentu saja Suu Kyi sedang sibuk menerima pujian
yang datang silih berganti seusai bebas dari penjara. ‘The Lady’ itu
tengah asyik menikmati sanjungan sebagai simbol demokrasi di Myanmar.
Demikian sibuk hingga ia tak punya waktu, meskipun untuk sekadar membuka
mulut.
Karenanya, Suu Kyi dihujani kritik oleh pendukungnya
sendiri sebab ikon demokrasi itu enggan membuat pernyataan sehubungan
dengan penindasan yang dilakukan militer terhadap Muslim Rohingya.
Kelompok
aktivis yang mendukung Suu Kyi menuduh ikon HAM itu sengaja menghindar
dan berdiam diri terhadap isu kemanusiaan dan perlakukan buruk oleh
tentara pemerintah terhadap etnis Rohingya. Padahal kini PBB menganggap
Rohingya adalah etnis paling teraniaya di dunia.
Suu Kyi juga
enggan bersikap terhadap tindakan Presiden Myanmar Thein Sein. Padahal
mantan jenderal militer itu mendukung kebijakan yang mendorong
terjadinya penghapusan etnis. Thein Sein mengatakan, sekitar 800 ribu
etnis Rohingya harus ditempatkan pada kamp pengungsi dan dikirim ke
perbatasan Bangladesh. Itu artinya, etnis Muslim Rohingya tak boleh ada
di Myanmar. [tjs]
Sumber : INILAH.COM oleh TJS